[Percakapan ini adalah Salinan dari rekaman video Focus Group Discussion yang menjadi bagian dari instalasi karya yang ditampilkan di galeri Rumah Seni Cemeti di akhir masa residensi. Salinan rekaman audio/video FGD ini telah mengalami pengeditan dari durasi aslinya selama 02:37:16 menjadi 47:43 tanpa mengurangi topik inti diskusi yang dituju]
[Focus Group Discussion ini diadakan pada sabtu 4 mei 2019 pukul 15:30 wib di galeri Rumah Seni Cemeti dan dihadiri oleh Yudi Prayudi, Reza Surjan Haritsyah, Saferi Yohana ,Amabahas, Arief Budiman, Theodora Agni, Muhammad Tomi, dan Ragil Dwi Putra]
Agni : karena di samping Cemeti ada tukang bangunan lagi kerja, jadi nanti ngobrolnya harus agak keras dan teriak – teriak ya, atau kita mau pakai mikrofon aja?
Tomi : nggak mba, ini sudah biasa, orang – orang dari timur sering ngomong keras kok.
Peri : orang timur volumenya tinggi.
Ama : kamu nggak dari timur! [bernada canda].
Peri : halo, perkenalkan, nama saya Peri dari NTT (Nusa Tenggara Timur); saya lahir dan besar di Kalimantan dan sekarang berkuliah antropologi di UGM.
Agni : semester berapa?
Peri : semester awal.
Agni : sudah berapa lama tinggal di Jogja?
Peri : baru satu tahun, dari Agustus tahun lalu.
Arief : halo perkenalkan nama saya Arief Budiman; saya lahir di Depok, saat ini berkuliah di ISI Yogyakarta dan sudah tinggal di Jogja selama tujuh tahun.
Ama : halo!
Agni : sebentar, Arief tadi tujuh tahun disini?
[Arief mengangguk / mengiyakan]
Ama : halo juga, perkenalkan nama saya Ama; saya berasal dari Ternate tapi orang tua saya dari Makassar dan saya lahir di Papua, saya datang ke Jogja dengan tujuan utama adalah sekolah pada tahun 2010, tahun ini tahun ke-9 saya disini, jadi setelah lulus saya memutuskan untuk tinggal disini.
Tomi : selamat sore, perkenalkan nama saya Tomi, saya dari Sumbawa, kebetulan sekarang ini saya sedang mengasisteni program residensi di Cemeti. Saya sudah hampir delapan tahun tinggal di Jogja.
Yudi : kalau saya Yudi Prayudi, saya bersekolah di Sekolah Tinggi Teknologi Adi Sucipto (STTAS) semester enam dan baru tiga tahun di Jogja.
Reza : perkenalkan, nama saya Reza, saya bersekolah juga di Universitas Teknologi Yogyakarta, saya bisa dikatakan paling muda disini, soalnya masih semester baru.
Ragil : sudah berapa lama tinggal di Jogja?
Reza : baru, kira – kira hampir satu tahun.
[Audio Cut off]
Agni : bagaimana sih pengalaman kalian ketika datang ke Jogja pertama kali? seperti bagaimana cara kalian menyesuaikan diri, cara mengetahui misalnya sistem transportasi disini, sistem bahasa atau sistem pertemanan sosial dengan teman – teman selama tinggal di Jogja?
Peri : sebelumnya aku kuliah di Surabaya, jadi misalnya ketika aku ingin liburan semester pilihanku hanya dua ; kalau gak ke Jogja atau ke Malang. Sama seperti yang mbak ceritakan tadi kalo misalnya berkunjung ke Jogja pasti sama teman – teman Jogja dibawa main. Rasanya pertamakali ke Jogja itu merasakan kenyamanan yang hakiki, itukan awalnya, pokoknya nyamanlah. Karena yang saya lihatkan seperti tempat wisatanya bagus, orang – orangnya ramah. Lalu setelah di bulan agustus 2018 yang lalu saya baru ke Jogja untuk kuliah lagi, jadi saat itu mulailah saya mencari kos – kosan. Dari pengalaman mencari kos – kosan itulah yang akhirnya membuat saya merasa bahwa Jogja ternyata tidak senyaman seperti yang saya rasakan dulu ; ketika berada di Jogja dan setiap kali mau pulang berasa seperti ada aja yang ketinggalan, rasanya seperti ingin balik lagi.
Tentang pengalaman mencari kos kosan yang ditolak, sebenarnya mereka tahu kalau saya orang timur dan beragama Kristen, soalnya pada saat itu mereka bilang “oh maaf kos kosannya penuh” padahal di depan ada tulisan `menerima kos-kosan putri`, sebenernya saya sendiri masih terima kalo misalkan dia memajang tulisan : `menerima kos kosan muslim` itukan lebih jelas to? berarti saya gak harus ribet – ribet lihat kamar, ngobrol sama bapaknya atau berpura pura akrab sama bapaknya biar dapat kamar. Tapi ternyata saya ditolak secara halus oleh bapaknya, dan bapaknya bilang “sebelumnya mohon maaf mba, disini kebetulan semuanya muslim saya takutnya mbanya gak nyaman”, “saya juga punya keluarga kok yang beragama Kristen”, lalu saya jawab : “hidup saya cukup lama dengan teman – teman yang beragama muslim, saya temani mereka sholat atau segala macamnya pokoknya kita baik – baik aja kok” bapaknya merespon lagi “oh yasudah terserah dari mbanya saja”.
Tapi karena tanggapan bapaknya seperti itu, dalam pikiran saya, kalau mau menerima orang yasudah terima saja kenapa harus bilang, “maaf mba disini muslim semua” dan kalo dipikir komprominya kan bisa nanti saja setelah saya tinggal disana. Akhirnya karena tanggapan bapaknya seperti itu saya menjawab “yaudahlah pak nanti saja”. Ada di dua tempat saya mengalami seperti itu, ditempat yang kedua itu sama karena di depannya ada tulisan “menerima kos kosan mahasiswa” dan di kosan ini pemilik kos bertanya saya asalnya darimana, saya bilang saya dari NTT, karena kalau saya bilang saya orang kalimantan kayaknya mereka ga percaya makanya saya bilang saya orang NTT. dan bapaknya menjawab: “oh iya ada kamar kosong tapi seminggu lagi mba, dan itu juga belum pasti keluar atau nggak” dari jawaban itu saya merasa saya juga ditolak. Karena waktu kuliah beberapa hari lagi jadi saya harus segera dapat kosan, saya mencoba untuk berkeliling, dan lagi – lagi menemukan kosan dengan pola tulisan yang sama. Lalu saya merasa dan berfikir “oh ternyata seperti ini ya menjadi orang yang didiskriminasi”. Kalau soal di kos kosan yang sekarang saya tinggali, waktu itu saya yang tanya duluan ke mbanya : “mba terima nggak untuk orang NTT dan beragama Kristen?” mbanya jawab “iya mba terima aja ko”, akhirnya saya langsung sewa untuk satu tahun di kosan itu daripada saya nanti harus cari lagi.
Agni : akhirnya kamu dapet di daerah mana?
Peri : karang malang juga, dan masih di tempat yang sama.
Agni : nah kan kemudian ketika sudah dapat kos kosan sebagai mahasiswa baru dan kamu sudah mempunyai bekal tinggal di surabaya terlebih dahulu, kamu kemudian mencoba untuk masuk ke ruang yang berbeda dengan semua konteks yang beda, seperti budaya, bahasa, kebiasaaan. Ini semua alami aja terjadinya?
Peri : Kalau bagi saya pribadi, alami saja. Berdasarkan pengalaman yang saya tahu, ada hal yang berbeda ketika tinggal di Surabaya dengan di Jogjakarta, yaitu orang Surabaya lebih cuek; kamu mau berbuat apa saja terserah. Tapi dengan orang Jogja saya merasa diperhatikan karena mereka bersifat ramah. Paling tidak, ada interaksi dengan warga sekitar, jadi ketika pergi makan di luar lalu ada bapak-bapak atau ibu-ibu di situ, kita pasti bilang “permisi, pak”.
Ama : Kalau bicara tentang host, kamu datang ke sini itu siapa yang membuatmu merasa diterima atau bisa akrab? Apakah teman-temen asal Jogja atau teman-teman sekampus yang kamu merasa belong, atau kamu memang bisa menyesuaikan diri?
Peri : kalau selama disini paling teman – teman kampus aja terus kebetulan selain teman – teman di kelas itu aku juga ikut organisasi.
Ama : jadi host sebenernya adalah sesama pendatang, perubahannya sudah terjadi seperti itu.
Arief : Pengalaman saya di Jogja dimulai ditahun 2010. Waktu itu, konteksnya saya ke jogja untuk liburan dan sebenarnya waktu itu tidak langsung ke Jogja tetapi ke Dlanggung tempat neneknya temenku, dan akhirnya aku penasaran untuk coba main ke Jogja yaitu ke Malioboro dan disitulah sebenernya pertamakali pertemuan saya dengan ruang Jogja dan masyarakat Jogja. Seperti kebanyakan orang ketika merasakan kota Jogja; nyaman, ramah. Kemudian di tahun 2012 saya sempat bingung mau kuliah dimana, sebenernya yang saya inginkan adalah kuliah di IKJ, tetapi karena alasan ekonomi akhirnya saya mencoba ikut teman saya yang sama – sama ingin masuk jurusan filem dan dia menyarakan untuk mencoba di ISI lalu saya coba ikut test dan akhirnya saya diterima. Sebenernya tidak ada keharusan untuk kuliah di Jogja.
Ketika di semester awal di Jogja, saya masih merasakan hal yang sama soal keramahtamahan, namun kemudian ada hal yang cukup menarik seperti; sebenarnya tidak semua warga Jogja ramah, contohnya ketika aku main ke terminal giwangan, stasiun atau ke tempat wisata yang mana pertemuan orang – orang dengan orang banyak mungkin lebih sering terjadi.
Lalu kalau pengalaman tentang kos kosan, sampai saat ini aku sudah lima kali ganti kos, satu kos kosan dan empat kontrakan, ketika aku bilang “aku dari Depok” ada perasaan kaget dan heran dari pemilik kontrakan itu, lalu biasanya dilanjutkan dengan cerita tentang bagaimana kekayaan atau kesombongan orang Jakarta atau bahkan ia menceritakan “dulu juga ada tuh mas yang pernah ngontrak, tapi ga sombong dan sopan, orang Jakarta juga” dari omongan pemilik kos itu seperti semacam ada stereotype bahwa orang – orang Jakarta itu sombong atau angkuh. Dan dari situ akhirnya aku lebih nyaman untuk berbicara dengan bahasa Jawa sampai sekarang, dan itu juga mungkin jadi pilihan politisku agar mudah berelasi contohnya seperti ketika aku ke pasar, akhirnya aku dapat harga lebih murah.
Ama : kalau dari pengalaman dua temanku karena merekakan sebelumnya sudah pernah ke Jogja, sedangkan kalau aku sendiri ketika datang dari Ternate kesini itu nggak pernah punya bayangan atau excitement apapun. Mungkin sebenernya gak terlalu excited juga. Memang tujuannya hanya sekolah dan kenapa Jogja terpilih, karena teman SMA ku semuanya kesini dan juga waktu itu aku nggak tau mau kemana jadi aku ikuti aja. Waktu itu dari Ternate ada apply bareng ke kampus UMY (Universitas Muhammadiyah Yogyakarta) dan saat itu aku tinggal numpang nyelipin formulir aja, dikirim bareng dan akhirnya diterima di International Relation di International Class . “oyaudah deh pergi aja” dan orangtuaku setuju aja ketika aku datang kesini. Waktu itu gak ada ekspetasi Jogja seperti apa ketika aku pertama sampai disini bersama orangtuaku. Mungkin karena aku anak pertama perempuan akhirnya aku diantar dan ditaro di asrama kampus.
Agni : oh ada asrama kampus di UMY?
Ama : Jadi itu sebenernya asrama yang cukup intens. Kita jadi kayak di pesantren karena ada sister hood nya dan di setiap lorong-lorong kamar itu ada kaka seniornya sendiri, tapi disana kita nyampur dengan mahasiswa – mahasiswa dari kota lain dan memang cukup sedikit anak dari Ternate yang disana. Jadi yang membawaku kemana mana ya teman temanku yang aku dapat dari asrama itu. Dan disaati itu gaya hidupku masih seperti anak kosan selama tiga tahun, kemudian datanglah keluarga – keluarga. Mungkin cerita ini agak familiar, misalkan keluarga kalian seperti sepupu yang paling muda datang kesini pastikan dititipkan ke kalian dan dari kemunculan itu akhirnya kita harus menjadi host untuk mereka, aku harus ikut mencarikan kosan untuk mereka, aku juga harus menjaga mereka, orangtua mereka akan menelfon aku ketika mereka tidak bisa dikontak. Kemudian pola itu menjadi semakin intens ketika aku memutuskan untuk ngontrak sehingga yang terjadi saat ini adalah rumah kontrakanku adalah rumah kontrakan keluarga; rumah kontrakan untuk keluarga, untuk sepupuku yang kuliah disini tinggal disitu, untuk saudara – saudaraku dari manapun, yang penting kenal. Waktu itu sodaraku bilang gini “itu Ama di Jogja, dateng aja”. Aku sering mengalami seperti misalnya ketika pulang kerja ada orang yang tidur di kasur ruang tamu “siapa itu? kok kaya ga pernah kenal” dan ternyata itu sepupunya sepupuku bahkan mungkin nggak ada hubungan darah sama aku. Kurang lebih hal – hal seperti itu yang aku dapatkan. Aku sudah menjadi host sendiri.
Terus kemudian karena melihat aku dan sepupu – sepupuku tinggal disitu, orang tuaku malah lebih menguatkan rumahku menjadi rumah untuk saudara – saudara kami yaitu dengan mendatangkan tanteku yang dikhususkan untuk masak, untuk jagain mereka atau ngurusin rumah, jadinya kaya ART (Anggota Rumah Tangga) yang di bawa rumah itu. Rumah ini sudah jadi seperti asrama sendiri buat kami. Akukan mulai ngontrak dari tahun 2012 yang mana itu adalah kontrakanku pertama di UMY karena kuliahku disitu, tapi sampai sekarang rumahku pun masih di daerah situ walaupun hampir setiap tahun aku berpindah tempat tapi pindahnya masih di daerah situ juga, alasan pindahnya seperti tidak nyaman dengan rumahnya, tapi disatu sisi juga aku merasa belong disitu. Karena ada tanteku yang tipenya jago untuk membaur dengan lingkungan sekitar dan dia juga punya teman – teman di kampung situ, jadi kalau mau pindah maunya di daerah situ aja. Hal itu juga yang akhirnya mempermudah sehingga di kontrakan terakhir ini akhirnya kita dapat dengan harga murah.
Tomi : aku gak kepikiran pada awalnya untuk kuliah di Jogja, jadi waktu itu aku ditanyaiin orang tua “kamu mau kuliah gak?, yasudah sana beli tiket” akhirnya berangkatlah langsung ke Jogja, ketika sampai di Jogja aku masih ingat kalu aku gak punya kenalan satupun disini dan saat itu tiba – tiba ada yang menelfon yang ternyata orang itu adalah orang yang ditelfon oleh orang tuaku, dan orang tuaku waktu itu mengabari “kamu panggil aja dia om”. Orang itu ternyata anak Fisipol UMY, akhirnya aku dijemput oleh dia di bandara lalu dibawa ke GATA dekat UMY. Saat itu yang tinggal disana kebanyakan anak UMY, jadinya aku ga tau apa apa, sehingga aku ngerasa seperti teraleinasi dan merasa asing. Karena saat itu mereka biasanya ngomongin organisasinya mereka, lalu aku berusaha diajak tetapi aku ga ngerti. Persoalan kenapa aku dititipkan disitu ternyata agar orang tuaku bisa lebih mudah ngontrol. Jadi misalkan ketika waktunya sholat pasti disuruh sholat. Akhirnya karena alasan itu saya mulai mencari kos, tapi di lain hal saya juga belum tahu mau kuliah dimana. Beberapa waktu kemudian akhirnya aku daftarlah di fakultas teknik di UPN dan waktu itu sempat juga diminta tinggal di asrama karena kampus UPN karena lumayan dekat dengan asrama sumbawa.
Jadi, si bapak kos ini orangnya baik dan suka menghosting. Misalkan ketika di masa ospek, saat itu aku dianterin sama dia ke kampus tapi syaratnya aku harus bayarin bensinya, dan kalau pagi – pagi kadang dibangunin “mas bangun mas mandi, ayo berangkat”, sempet aku ngalamin hal kaya gitu di Jogja.
Selama aku di Jogja cukup banyak orang yang dititipkan ke aku bahkan yang baru dateng ke Jogja mereka pasti ke tempatku dulu. Terkadang sempat kepikiran untuk bisa berbahasa Jawa ditambah teman – temanku ketika ngobrol sehari – hari menggunakan Bahasa Jawa akhirnya pernah kepikiran kalau aku harus jadi “Jawa”. Kurang lebih pengalamanku seperti itu.
Yudi : kalau saya sendiri pada awalnya nggak kepikiran kuliah karena ditahun 2015 itu saya sempat ada masalah dan di 2016 akhirnya saya ada kesempatan untuk kuliah di Jogja. Ketika pertama kali datang ke Jogja, saya hanya punya kontak salah satu teman yang lebih dulu tinggal di Jogja tetapi sesampainya disana nomornya tidak bisa dihubungi mungkin hilang, akhirnya saya memutuskan untuk menunggu beberapa jam di bandara.
Saat itu yang saya tahu hanya Malioboro, karena saya belum pernah ke Jogja sebelumnya. Tetapi dengan kepercayaan diri lelaki saya mencoba untuk naik Trans Jogja dan di setiap shelter saya selalu bertanya ke petugas “dimana Malioboro?”. Akhirnya sampai juga di Malioboro, sesampainya di sana saya langsung mencari warnet untuk mencari teman – teman yang tinggal di Jogja melalui facebook untuk membantu saya menuju ke asrama tapi beberapa orang yang saya hubungi pada saat itu tidak ada satupun yang merespon, setelah menunggu beberapa lama akhirnya salah satu dari mereka ada yang merespon, sayapun dibawa olehnya ke asrama.
Ketika pertama kali tinggal di asrama saya hanya ingin bergaul dengan rekan – rekan daerah yang sudah lebih dulu tinggal di Jogja. Dan setelah saya diterima di Sekolah Tinggi Adi Sucipto saya coba bergaul dengan teman – teman disana, tetapi saya agak minder sedikit, soalnya ada perasaan malu untuk bergaul dengan orang – orang Jawa ini, karena ketika saya berbicara berbahasa Indonesia mereka mengira saya dari Jawa Barat, jadi mulai dari situ saya merasa agak sedikit kurang nyaman.
Karena di asrama banyak teman – teman daerah saya terkadang merasa terjebak dengan pergaulan bersama rekan – rekan daerah ini karena pergaulan mereka hanya itu – itu aja. Setelah beberapa tahun mengalami itu saya coba ke masjid, setelah setahun lebih saya sering berkunjung ke masjid itu saya mulai disambut oleh bapak – bapak takmir atau pengurus masjid yang selalu membimbing saya, akhirnya saya merasa nyaman ketika bersama mereka. Dia waktu itu sempat bilang “kamu nggak papa disini, kamu belajar saja mumpung disini lingkupnya kecil” dan sejak saat itu saya mulai belajar azan pakai pengeras suara, hal itu menjadi salah satu pemantik saya untuk terus berangkat ke masjid. Karena saya merasakan kenyamanan dengan bapak – bapak di sekitar situ akhirnya sampai saat ini saya masih menjadi Pemuda Pengurus Remaja Masjid disitu.
Dari pengalaman itu saya mencoba untuk mengajak rekan – rekan yang lainnya, khususnya yang di asrama ini, karena saya melihat rekan – rekan di asrama banyak yang terjebak dengan pergaulan teman – teman sedaerah itu, jadi kaya akhirnya stack aja disitu. Saya juga pernah bertanya dengan salah satu dari mereka yang berkuliah di UAD, saya coba tanya ke dia “kamu kok kayaknya ga pernah keluar ya? cuman kuliah-pulang kuliah-pulang?” lalu saya bertanya lagi “kenapa sih kamu gak pernah bergaul dengan mereka?” lalu dia menjawab : “sepertinya kalau bergaul dengan rekan – rekan yang dari Jawa, ngomongnya susah, gak nyambung jadi saya terkadang sering diketawain” dan dengan alasan itulah saya akhirnya mengajak rekan – rekan untuk membiasakan berkomunikasi dengan bahasa Indonesia.
Jadi salah satu kegiatan kami di asrama itu diadakan setiap dua kali seminggu. Karena rekan – rekan ini sangat susah sekali untuk berkomunikasi dalam bahasa Indonesia. Mungkin kemarin Mas Ragil sudah melihatnya; beberapa rekan – rekan cukup sulit berkomunikasi dalam Bahasa Indonesia makanya saya membuat program presentasi, dan topik presentasinya terserah, bisa tentang keagamaan atau sesuai dengan jurusan mereka, intinya saya mengharapkan rekan – rekan dapat lebih mudah berkomunikasi. Ada beberapa rekan – rekan yang sudah tinggal 7 – 8 tahun di asrama tetapi mereka masih kesulitan untuk terbuka di kegiatan presentasi itu dan akhirnya saya berfikir untuk benar – benar serius mengadakan kegiatan presentasi itu. Bisa dilihat juga untuk saat ini, sayapun masih kesulitan berkomunikasi. Walaupun saya sudah tiga tahun disini untuk berbicara di muka umum seperti ini saja saya masih sedikit grogi bagaimana dengan rekan – rekan saya yang lain yang sangat jarang sekali.
Reza : ini udah? udah ya gantian. Pengalaman saya pertama kali di Jogja ketika saya mendaftar kuliah, dan waktu itu saya dengar cerita dari teman – teman, kalau mereka kesulitan untuk mencari kos di Jogja, kalau saya justru sebaliknya; saya cukup mudah untuk mendapat tempat tinggal. Sebelum saya ke Jogja, sudah ada dua tempat yang menjadi pilihan untuk tinggal; pertama di rumah paman karena ada paman tentara disini, selain di rumah paman, pilihan lain adalah di asrama, hanya ada dua pilihan itu saja. Saya sebenarnya mau bebas, karena kalau tinggal sama paman pastikan nggak bisa bebas, lalu ketika mendengar ada asrama, saya berfikir “duh pasti asrama banyak peraturanya kan” tapi katanya asrama yang ini beda tidak seperti di pondok, bebas dan ada beberapa yang mengurusi. Yaudah, saat itu akhirnya saya memilih asrama. Akhirnya tempat tinggal sudah dapat. Waktu itu ada kegiatan mos atau ospek dan saat itu saya mulai berinteraksi dengan teman -teman yang nggak saya kenal. Ketika masuk kampus pertama kali saya bisa dibilang termasuk orang yang belum mendapatkan teman, karena belum ada yang dikenal dan itu bagian yang paling susah karena waktu itu sendirian dan hanya diam aja. Jadi ketika itu saya baru tau kalo orang Jogja ternyata ramah – ramah, saya kemudian kenalan dan meminta nomer WA, akhirnya banyak teman dan ga kesepian lagi. Banyak yang saya pelajari tentang budaya -budaya Jogja dari teman – teman.
Ama : bahasa Jawa juga?
Reza : bahasa Jawa sampai sekarang belum bisa masih belajar sedikit – sedikit. Karena masalah tempat tinggal yang jaraknya jauh dari kampus akhirnya hanya di kampus saja saya berinteraksi dengan teman – teman Jogja dan kebanyakan saya hanya berinteraksi dengan teman – teman daerah karena saya tinggal di asrama.
Agni : apa sih perbedaan yang kalian alami ketika kalian tinggal di rumah asal kalian dibandingkan dengan berada di rantau ini misalkan untuk kuliah atau kerja apakah kalian merasakan perbedaan? ketika berada di tempat asal dengan ketika kalian tinggal disini?
Ama : Sebenernya aku hanya ingin menambahkan sedikit argumen tentang anggapan Jogja sebagai rumah, karena sebenarnya aku akan mengingatnya kembali di masalalu tentang perbandingan rumahku yang sebelumnya dengan Jogja. Karena rumahku sekarang adalah Jogja, jadi aku mau membandingkan pengalaman itu dengan hal yang sama yang pernah aku alami di Bali. Jadi di bali itu punya area – area tersendiri antara tempat tinggal dengan tempat kerja sehingga aku merasa sendiri dan merasa sangat berbeda saat itu, ini berbeda ketika aku berada di Jogja dimana tempatku kerja dekat dengan tempat temanku nongkrong, sehingga mobilitasku sangat cepat dan bisa kemana aja. Sementara di Bali setelah kerja tidak ada lagi waktu luang untuk bertemu dengan temanku di ubud. iItu beberapa hal yang membuatku ingin segera balik kesini sebenarnya.
Arief : aku merasakan hal yang sama juga seperti perbedaan ketika saat ini aku di Jogja dengan ketika aku di Depok, mungkin juga dapat dibilang nggak jauh berbeda, karena ketika disini aku sudah punya satu tujuan seperti ingin berkegiatan di wilayah kesenian dan ketika aku balik ke Depok secara lingkungan, teman, dan ruangnya pun kurang mendukung. Jadi ketika aku pulang ke Depok terkadang aku gak tau mau ngapain, di sisi lain terkadang aku iri dengan beberapa teman yang sudah lulus lalu kemudian mereka bangun desa.
Tomi : iya Bedol Deso! [Tomi menyela]
Arief : balik ke kampungnya terus bikin ekosistemnya sendiri, terkadang aku iri tapi aku berfikir lagi misalkan aku balik ke Depok mungkin secara energi aku gak mampu.
Ama : mungkin aku mau menyinggung sedikit, oh kamu mau ngomong?
Tomi : oh gak apa apa, kamu dulu aja.
Ama : no ! you !
Tomi : yang bener nih?
Agni : Tomi dulu, Ama udah banyak kok.
Tomi : ya sebenarnya kalo dari pendapatnya Ama dan Arief aku hampir bilang Peri lagikan.
Ama : ntar aku yang akan ingetin.
Tomi : menurutku mungkin hampir sama, kalo misalkan kita berbicara kedaerahan, seperti yang tadi aku bilang dan mungkin dari teman – teman nanti juga bisa menambahkan. bagaimana kita menggambarkan Sumbawa? sehingga Jogja ini bisa dibilang bukan gula lagi
tapi madu buat kami. Orangtua kami tuh sebenarnya memberikan wejangan -wejangan yang paradox, dia sempat bilang “kalau kuliah kamu tuh nggak enak – enakan disana” tapi disisi lain aku pikir kita harus hidup di kawasan yang enak apalagi ketika masuk ke lingkungan yang serba ada, karena contohnya ketika kita ingin mengakses ini itu pasti selalu ada. Dan ketika pulang, rasanya energi kita sebagai seorang individu sepertinya tidak cukup. Nah kalau misalkan tadi berbicara tentang kerinduan, ya pasti rindu tentunya. Misalnya ketika melihat salah satu potongan berita tentang kampung ada tentu perasaan ingin pulang tapi disisi lain terkadang berfikir “siap gak ya untuk balik?”.
Agni : berarti rantau dapat dikatakan menjadi semacam ruang inkubasi? ruang dimana kalian memikirkan hal apa yang akan kalian lakukan sebelum memutuskan kembali ke rumah asal?
Yudi : kalau saya sendiri, ketika saya berada di daerah, saya merasa sudah cukup dengan modal yang sudah saya miliki saat ini, tetapi disatu sisi justru itu yang membuat saya stagnant, entah kenapa saya merasa sudah cukup secara pribadi tentang pergaulan saya dahulu dengan teman – teman yang narkoba dan suka minuman, sehingga saya berfikir untuk tidak tergoda lagi. Tetapi ketika saya di rantauan dan berhadapan dengan mba – mba dan mas – masnya ini saya sendiri terkadang merasa minder tapi membuat saya merasa terpacu. Berbeda lagi ketika saya dulu bergaul dengan teman – teman di asrama yang bergaulnya hanya disitu situ saja, saya berfikir saya merasa cukup, tapi ketika bertemu dengan mba dan masnya, saya merasa harus lebih banyak belajar lagi. Pada akhirnya di satu sisi saya masih membutuhkan kota agar lebih terpacu dan agar standarnya lebih tinggi. Karena kalau ketika di daerah terkadang akhirnya saya merasa mentok dan sudah cukup.
Ama : iya aku jadi inget, ketika aku ngobrol dengan temenku soal perbedaan ekspetasi diri antara ketika kamu berada di kota dan ketika kamu berada di kampung atau daerah asalmu. Kalau kita melihat teman – teman yang masih tinggal di kota asal terkadang aku merasa “kalau aku disitu nanti ekspetasi hidupku bisa kaya dia, yang mana ekspetasi hidupku hanya untuk menikah” itu mempengaruhi banget.
Peri : aku mau nambahin karena yang tadi menarik, soal pengalaman ketika kita pulang. Daerah asalku termasuk daerah tiga T (terdepan, terluar, dan terbelakang) dan termasuk perkembangan daerah yang sangat terlambat, selalu stak perkembangannya. Ketika aku pulang selama satu bulan, harapanku akan ada hal banyak yang dapat aku perbuat, tapi sampai disana, ketika rinduku dengan rumah dan sebagainya sudah terobati, ternyata teman – temanku gitu gitu aja. Tapi maksudku bukan gimana – gimana disini. Pendidikanku memang seperti ini dan ketika disana mencoba untuk ngobrol sama mereka, kadang aku merasa takut dibilang “sombong” atau “mentang – mentang sekolah”, karena orang – orang daerah biasanya berfikir kaya gitu apalagi ketika mereka tahu bahwa kita kuliah dan segala macem, jadi kalau saya terlalu lama disana saya akhirnya terkadang rindu Jogja. Dari situ, ketika aku merasa rindu untuk pulang kerumah paling hanya sekedar menjenguk orang tua aja setelah itu balik lagi kesini, karena memang disini terlalu banyak hal yang harus saya pelajari lagi. Seperti kata bang Tomi tadi, saya nyari link disini dan harapanya nanti saya bisa membangun ruang saya sendiri.
Yudi : saya pernah mengalami juga sebenarnya apa yang dibilang mba Peri tadi, jadi sesekali ketika ngumpul dengan teman – teman di rumah saya coba ngasih pandangan “gini lho yang harus kita lakuin” saya mencoba untuk memotivasi mereka, tapi pada akhirnya salah satu rekan saya bilang “kamu ngapain sih, ngomongin itu? Kamu kok ngomonginnya Jogja terus
dan ngomongin kegiatan kamu melulu?” pada akhirnya disitu saya merasa, mungkin cara penyampaian saya yang kurang tepat atau mungkin mereka tidak siap dengan tertinggalnya kita. Jadi dapat dikatakan saya memang sedikit setuju dengan apa yang dikatakan oleh mba Peri tadi.
Agni : kalo dari catatanku merespon pendapatmu yang tadi itu, ada dua streotype terhadap pendatang yang kemudian memunculkan bentuk – bentuk seleksi seperti bagaimana cara menerima siapa saja yang boleh masuk keruang tamunya dan siapa yang tidak boleh, dan juga sebenarnya bentuk keramahatamahan orang Jogja itu seperti apasih? karena tadikan kalian ngomong kalau orang Jogja itu ramah, mungkin hanya Reza yang paling konkret
dengan contoh; kalau misalkan sedang sendirian lalu didatangi dan ditanyai bahkan ditemani, tapi kalau dari yang lain bagaimana? Maksudnya ini untuk mengidentifikasi juga. Karena disalah satu obrolan kami berdua, Ragil dan Aku, kami sempat mengasumsikan bahwa Jogja itu orangnya ramah yang mana akhirnya keramahtamahan itu juga bisa dikonversi menjadi hal yang lain. Jadi keramahtamahan itu menjadi salah satu servis atau jasa yang mendatangkan potensi atau keuntungan lain entah itu ekonomi, sosial, atau budaya.
Tomi : kalau aku Mba ya, boleh gantian? sebenarnya aku justru bingung kalo ada pertanyaan seperti itu. Karena kalo misalkan kita berbicara keramahtamahan, dipikir pikir kurang ramah apalagi tempat kita ya? makanya aku tadi nggak menyinggung orang Jogja ramah atau nggak, karena aku merasa dan mengibaratkan Jogja itu ya pasar aja, karena disini aku masuk ke pasar, sehingga harus ada jarak dan tetap berhati – hati juga. Jadi seramah apapun itu, kita juga mesti ramah kalo nggak mau diganggu orang lain, sederhananya seperti itu. Kalo misalkan berbicara tentang itu tadi, sebenarnya aku ga nemuin ukuran keramahtamahan itu sebenarnya apasih?.
Agni : atau mungkin sebenarnya keramahtamahan itu adalah nilai yang dimiliki semua orang bukan orang Jogja aja?.
Ama : itu yang mau aku tambahkan.
Arief : tapi sepertinya aku nemuin beberapa hal yang berbeda, mungkin karena aku membandingkannya dengan di Depok. Disini keramahtamahan yang aku bicarakan adalah kemudahan seseorang bertemu dengan orang lain kemudian menyapa, berbincang dengan mudahnya tentang segala hal. dan itu yang gak selalu aku dapetin di Depok, makanya aku bisa ngomong orang Jogja ramah ya seperti itu.
Ama : tapi orang Jogja itu apakah orang asli Jogja semua ataukah sebenarnya?
Arief : aku ga sempet nanya itu, paling hanya karena logat dia yang berbahasa Jawa itu. Tapi temenku yang dari Jogja pernah cerita yang mana kebetulan dia lagi main ke Jakarta terus ketemu sama tukang bubur dan kebetulan tukang buburnya orang Jogja terus akhirnya dia berbincang banyak dengan tukang bubur itu sampai akhirnya dikasih bubur gratis, temenku cerita ke aku kaya gitu sampai dia bilang “mungkin iki mase negkono jarang opo yo seng ngajak ngobrol, nganti aku ngajak ngobrol sitik langsung panjang lebar?”.
Agni : tolong pake bahasa Indonesia ya!
Arief : “mungkin masnya ini disana jarang ada yang ngajak ngobrol kali ya, aku ajak ngobrol sedikit, tiba – tiba langsung ngobrol panjang lebar” mungkin juga dapat dibilang itu memang karakter orang Jogja.
Peri : kalau aku, ukuran keramahtamahan itu aku bandingkan dengan daerah tempatku tinggal, kalau di Kalimantan itu orang-orang ga mudah bertanya “halo darimana asalnya?” tetapi ketika aku tinggal di Jogja dan aku juga adalah pelanggan setia ojek online, jadi beberapakali naik ojek online itu biasanya aku bertanya “bapaknya udah lama ngedrive?” dan dari obrolan itu mereka mulai membicarakan tentang keluarga, pekerjaan, bahkan pendapatan mereka, jadi aku mengidentifikasikan ramah seperti itu, bentuk komunikasi mereka yang sebenarnya dan kebetulan kemarin sempat turun kelapangan juga di pasar Klitikan, awalnya cuman beli sepatu tapi akhirnya jadi lama banget ngobrol sama penjualnya, sampai akhirnya aku tahu silsilah keluarga bapaknya sedangkan di Kalimantan saya tidak menemukan itu bahkan di Surabayapun juga tidak.
Ama : budaya suka bercerita, suka mencari tahu.
Peri : mungkin karena orang Jogja suka bercerita.
Ama : aa small talk.
Tomi : kalau aku bilangnya basa – basi.
Arief : kadang nyeritain yang gak ditanyain juga.
Ama : jadi aku sebenarnya mau ngomong soal, karena disini kita ngomong soal tamu dan tuan rumah, apakah tamu disini adalah semua pendatang? Dan apakah tuan rumah disini adalah orang yang asli berdarah Jogja? Atau mungkin kemudian ada fenomena pergeseran? Sebenarnya, mungkin saja ketika kamu semakin lama disini kamu bisa jadi tuan rumahnya. Jadi, sebenarnya definisi tuan rumah ini sendiri seperti apa? apakah itu khusus hanya untuk orang Jogja saja? atau apakah kita ngomong soal budaya? ataukah Jogja ini adalah ruang tamu yang menghasilkan tamu dan tuan rumah dan mereproduksi tamu dan tuan rumah terus menerus?
Agni : Kalau aku gak tau ya pendapatnya Ragil, tapi kalau pendapatku, walaupun kita masih mengidentifikasi lewat sharing ini tapi menurutku yang disebut sebagai tuan rumah lebih ke kota dengan segala fasilitasnya dan sistem kotanya, misalnya kaya sistem transportasi atau sitem ekonomi, tuan rumahnya, infrastruktur.
Ama : berarti kalau keramahtamahan itukan sebenarnya sifat dan karakter?
Agni : nah itukan kita sedang dicurigai apakah itu karakter orang aslinya atau itu diciptakan oleh infrastruktur ini ?
ragil : sebenernya, justru itu pertanyaanya. Tapi kalau kita melihat sekarang sebenernya hal itu nggak bisa diidentifikasi. Aku juga nggak tahu orang Jogja yang asli itu seperti apa, ngeliat mba Agni aja, aku juga baru tahu ternyata dia orang Jogja. Jadi, sebenarnya menurutku lebih keperlakuan aja, bagaimana teman – teman yang tadinya tidak punya kultur meng hosting yang sebenarnya dekat dengan kultur disini akhirnya kebawa, yang di kotanya tidak ada hal seperti itu akhirnya ia ikut meruang dan mencair yang mana akhirnya dia melakukan hosting juga, justru yang menarik peralihannya dimana sih? ketika dia menjadi tamu lalu menjadi tuan rumah, pastinyakan ada persoalan waktu disitu.
Agni : ada yang mau sharing ? boleh boleh.
Yudi : kalau dulu saya ada pekerjaan sambilan yaitu nge Grab dan nganterin tamu juga. Dari beberapa orang yang saya fasilitasi di Jogja ini bilang bahwa mereka merasa kegiatan apa saja tersedia di kota ini. Contohnya seperti kita sebagai mahasiswa, diskusi tentang kebangsaan, pendidikan ataupun keorganisasian disini semua tersedia, jadi kita mau ngapain aja tersalurkan, entah itu dibidang olahraga atau seni. Jadi dari beberapa tamu itu bilang “pak enak ya di Jogja mau ngapain aja pasti ada”. Begitu juga dengan tamu – tamu mahasiswa yang dari solo atau kota lainya, mereka bilang hal yang sama bahwa semuanya seperti: kegiatan olahraga, seni atau pendidikan semua sudah tersedia di kota Jogja ini.
Agni : seperti apa percobaan atau upaya – upaya kalian sebagai pendatang untuk beradaptasi dengan situasi yang ada di Jogja secara sosial dan budaya?
Ama : aku merasa salah satunya melalui pengetahuan. Karena di Jogja sendiri banyak mahasiswa – mahasiswa yang akhirnya pulang ke daerah, dan itu merupakan sebuah fenomena. Karena banyak juga temenku yang memutuskan untuk pulang, atau banyak juga yang pindah ke Jakarta. Jadi ada dua pilihan yaitu ke atas atau balik lagi. Dan orang – orang yang tinggal adalah orang yang percaya bahwa mereka bisa tinggal disini dan mereka sudah paham dengan posisinya di kota ini, walaupun lagi – lagi aku ngambil contoh diriku. Karena aku percaya diri, aku tahu apa yang akan aku lakukan disini, makanya aku tinggal disini walaupun orang banyak yang bertanya: “kenapa kamu nggak pulang? disini banyak peluang, kamu bisa kerja di pemerintahan daerah dan disini juga butuh orang – orang kaya kamu” tapi aku merasa aku disini, dan kerjaanku disini.
Agni : sekarang aku inget!, tadikan aku terinspirasi dengan cerita dari pengalamanya mas Yudhi tentang aktif di masjid itu. Kalau dari pembacaanku, sebagai pendatang, untuk bisa berinteraksi dengan warga setempat, selain kita sendiri yang haru aktif tetapi kita juga butuh ruang – ruang yang membantu memediasi atau mempertemukan kita dengan komunitas setempat itu oleh karena itu aku tertarik dengan satu contoh yaitu masjid dan aku mau tanya ke teman – teman lainnya, kalau misalkan teman-teman punya contoh lain, misalnya ada komunitas yang berbasis kota asal atau daerah asal seperti FORMISI atau KOPAJA, itu kemudian juga dapat dikatakan sebagai mediator.
Ama : aku punya cerita sih tapi kayaknya aku kebanyakan ngomong ya?.
Agni : iya gantian dong! Peri sama Reza.
Ama : tapi ini unik lho!
Agni : Ama terakhir nanti!
Ama : unik lho, terus terus!
Peri : kalau mas Yudhikan di masjid dan ada orang Jogjanya, kalau aku justru di gereja yang tidak ada orang Jogjanya, mereka adalah orang-orang yang bertugas setiap hari di gereja. Jadi di gereja itu saya berkomunikasi dengan sesama pendatang, dan kalau di kampus pun, seperti yang saya bilang tadi bahwa di keluarga mahasiswa kristiani itu hanya sedikit orang Jogjanya paling hanya satu sampai dua saja karena lebih banyak pendatang yang terlibat. Akhirnya sosialisasi saya lebih banyak sama pendatang.
Arief : gatau ya, mungkin Jogja sebagai kota dan pemerintahannya sampai menutupi itu lho untuk mempertahankan kesan “nyamanya”.
Terimakasih kepada :
Yudi Prayudi
Reza Surjan Haritsyah
Saferi Yohana
Amabahas
Arief Budiman
Theodora Agni
Muhammad Tomi