Meraut Dalam yang Lain/
Facing The Others

oleh : Ragil Dwi Putra

Seorang individu hanya mungkin melihat dirinya sendiri melalui orang lain. Dari situ ia mampu menilai dan memberikan pertimbangan mengenai kehadiran/keberadaannya. Atau, bisa juga melalui dirinya sendiri namun dalam wujud sebagai subjek yang lain. Misalnya, subjek yang terpantul pada sebuah cermin. Subjek yang tampil sebagai pantulan pada cermin adalah subjek yang dipandang dalam suatu jarak. Dengan jarak itu, subjek pertama telah memposisikan diri sebagai “yang lain” yaitu sosok yang tidak lagi sepenuhnya sama dengan subjek yang dipantulkannya. Cermin itu sendiri memiliki kedalaman (dimensi) yang menjadi ruang bagi tampilnya subjek kedua atau subjek yang lain itu.

Tetapi cermin juga memiliki permukaan, yaitu bidang rata yang menjadi batas dari dimensi atau kedalamannya. “Batas” inilah yang memisahkan dua ruang yaitu realitas yang sebenarnya dengan realitas yang lain itu. Lebih lanjut, yang dapat dilakukan terhadap pantulan subjek itu ialah memetakan yang lain dalam berbagai kemungkinan, seperti misalnya, memetakan tubuh-tubuh dan memetakan identitas-identitas. Projek membaca orang lain melalui diri sendiri menjadi makna yang hendak digapai dalam pameran tunggal saya ini, yang saya beri judul
FACING THE OTHERS.

The Others” yang dimaksud di sini adalah sebuah refleksi, sebuah bayangan, sebuah antitesis. Dapat juga dikatakan sebagai suatu gambaran yang berlawanan dengan gambaran yang sebenarnya. Atau merupakan realitas lain yang terefleksikan dengan jelas tetapi tidak pernah sama atau tidak pernah benar-benar sama dari realitas yang sebenarnya itu. “The Others” bukan suatu hal yang absolut melainkan relatif. Ia memiliki kapasitas yang sama terhadap apa yang dianggap berlawanan dengannya, terhadap apa yang dipandang berbeda. Kapasitas ini dapat berkembang menjadi sebuah kuasa yang dapat melabelkan segala yang berbeda atau yang berlawanan sebagai sesuatu “yang lain”.

Dalam praktiknya, pendekatan tersebut dihadirkan melalui sepotong cermin segi panjang vertikal yang merefleksikan sosok subjek pertama secara utuh. Tapi, sebenarnya, ada satu cermin lagi berupa lensa kamera
handphone yang memotret performativitas subjek pertama dalam beragam identitas saat mengenakan berbagai pakaian. Namun, yang dipotret adalah pantulannya pada cermin, dan rangkaian foto-foto inilah yang akan dicetak dalam ukuran satu banding satu. Proses ini dimaksudkan untuk melihat adanya matarantai dari pertukaran antar-the others. Dengan demikian, maka subjek pertama dapat menjadi subjek kedua, ketiga dan seterusnya, dan sebaliknya, subjek-subjek tersebut dapat kembali menjadi subjek pertama karena telah memakai beragam identitas melalui pakaian yang berbeda-beda.

Proses menghadapi “yang lain” adalah proses negosisasi atau dialog yang terjadi antara dua atau lebih subjek yang berseberangan. Subjek pertama diwakili oleh diri saya sebagai performer, dan subjek-subjek lainnya diwakili oleh pakaian-pakaian yang saya kenakan yang berasal dari beragam identitas dan latar-belakang yang berbeda. Antara saya sebagai subjek pertama dengan subjek-subjek lain yang saya pinjam tersebut terjadi proses dialog.

Kehadiran sesuatu “yang lain” membawa saya pada sebuah simulasi yang sederhana untuk menggambarkan seperti apa “yang lain” itu dalam berbagai bentuknya. Pertama, menggunakan tubuh saya sebagai sosok yang mencoba berdialog dengan tubuh orang lain melalui apa yang mereka kenakan. Kedua, apa yang terjadi dalam dialog atau pertukaran tubuh itu coba dihadapkan pada sesuatu “yang lain” dalam selempeng cermin yang lalu dimutlakkan lewat pembingkaian oleh kamera.

Saat ini “the others” atau “yang lain”  telah hadir di mana pun, kapan pun dan dengan cara apa pun. Ia bisa hadir di ruang publik atau di ruang privat sekali pun. Di setiap jam, di setiap menit bahkan detik. Di malam atau pun di siang hari dan di waktu-waktu tak terduga. Ia hadir dengan caranya masing-masing dalam membingkai realitas itu sendiri.

Boleh dikatakan, tubuh dalam arti sebenarnya adalah gambaran yang paling mewakili identitas dasar dari seseorang sejak ia dilahirkan. Sebaliknya, dengan pakaian, identitas tubuh dapat berkembang secara sosial dan budaya dan kian menegaskan kehadiran subjek pada konteksnya masing-masing. Secara visual, pakaian juga merupakan benda yang paling mewakili bentuk tubuh pemakainya. Pada akhirnya, ketika kita melihat sepotong pakaian kita juga melihat sesosok tubuh imajiner sebagaimana tubuh kita sendiri.

Tubuh dan pakaian punya peran yang signifikan dalam merepresentasian identitas, baik itu identitas sosial, kultural dan gender. Tubuh dan pakaian dapat melengkapi bahkan mengkritisi satu sama lain untuk menjadi identitas yang lengkap atau identitas yang baru. Proses mengkritisi atau melengkapi satu sama lain itu bisa dilihat sebagai dialog dalam merepresentasikan suatu identitas yang baru. Dari proses dialog antara tubuh dan pakaian itu, saya mencoba mensimulasikannya dengan memakai beragam pakaian orang lain.

Beragam pakaian tersebut saya pilih untuk dipinjam berdasarkan kategori fungsional, kultural maupun gender. Identitas mereka dipindahkan ke tubuh dan situasi yang berbeda. Mengenakan pakaian mereka, identitas yang diwakili oleh tubuh saya harus bernegosiasi dengan tubuh dan identitas masing-masing dari mereka. Pada momen itulah, tubuh saya telah menjadi wahana bagi bertemunya beragam identitas yang saya pinjam tersebut. Proses ini dapat dikatakan seperti melakukan dialog antar-identitas saat pakaian mereka berada di tubuh saya, pada akhirnya, memunculkan suatu identitas baru pada diri saya sendiri maupun bagi sang pemilik pakaian itu. Identitas-identitas yang beragam ini muncul sebagai representasi citraan lewat pantulannya pada cermin yang direkam dengan kamera foto pada aplikasi
handphone. Di titik inilah saya dan individu-individu lain tersebut, sebenarnya, telah saling memetakan identitas dan tubuh masing-masing yang tampil sebagai representasi dari “the others”.

Lewat gambaran tentang “yang lain” tersebut, pada akhirnya, hal itu menimbulkan satu pertanyaan sederhana: Bagaimanakah subjek pertama merespons subjek-subjek yang lain, dan sebaliknya. Lebih lanjut, pertanyaan tersebut bisa diarahkan menjadi: Bagaimana kita menyikapi sesuatu “yang lain” itu? Atau, bagaimana sesuatu “yang lain” itu juga menyikapi kita?

Pameran ini mencoba menghadirkan tentang apa “yang lain” atau “the others” dalam berbagai bingkai bersama kehadiran realitasnya masing-masing. Realitas yang bersifat absolut di situ dapat menjadi semacam bukti visual akan kehadiran waktu dalam satu kali momen dan realitas yang relatif akan perubahan konstan dalam menangkap apa yang ada di depannya.

Penulis : Ragil Dwi Putra
Penyelaras Bahasa : Ugeng.T.Moetidjo