Meraut Dalam yang Lain/
Facing The Others
oleh : Gesyada Siregar
Bagaimana jadinya jika satu orang mengenakan seratus lebih setelan pakaian orang lain? Ragil Dwi Putra, seorang seniman kelahiran 1992 yang berbasis di Jakarta, menampilkan 154 potret diri dengan setelan pakaian orang-orang dari lingkungan sosialnya dalam bentuk video stop-motion dan cetak digital. Setelan pakaian yang dipinjamnya merupakan gaya andalan yang bermayoritas dari orang-orang yang segenerasi, dengan berbagai karakter, sejarah baju, gender, pekerjaan dan domisili. Alih-alih sekadar sebuah dokumentasi, seri foto ini bisa dikatakan merupakan foto-performans. Sebagai seniman yang praktik utamanya adalah seni performans, ia mempertimbangkan durasi, cermin, keberadaan cahaya natural matahari, fungsi telepon genggam, jenis pakaian, kepercayaan si pemilik baju, hingga mobilitas untuk meminjam dan mengembalikan baju ke pemilik sebagai bingkaian dalam menguji tubuhnya. Seri ini merupakan proyek seninya yang telah berlangsung sejak Maret 2018. Boleh dibilang, Ragil mengerjakan sejenis investigasi artistik untuk meneroka dan mengenali hal-hal yang dianggap penting di generasinya: pilihan berbusana yang berkaitan dengan citra diri di media sosial serta kesesuaian dengan mobilitas yang menjadi tuntutan hidup. Hasilnya? Ada ‘keirasionalan’ yang lucu ketika memandangi sosoknya mencoba menjadi yang “lain”: menopang memori tubuh dan sejarah baju milik orang lain.
Ketika memposisikan diri sebagai “manekin manusia”, ada tawar-menawar untuk menyeimbangkan antara baju dan tubuh yang memiliki karakternya sendiri. Tubuh yang menjadi medium dalam proyek ini memiliki bentuk yang menyerupai segitiga terbalik, di mana bahu berukuran lebih lebar dibanding pinggang dan pinggulnya. Sehari-harinya, tubuh ini hanya dikenakan T-shirt katun dengan ukuran ‘L’ dan celana chino panjang yang pas dengannya, biasanya dipasangkan dengan hoodie dan jaket berbahan parasut jika harus bepergian dengan sepeda motor. Lewat proyek ini, si seniman mencatat proses negosiasi ketika meminjam dan mengembalikan pakaian ke si pemilik serta kesan-kesan yang dirasakan tubuhnya ketika mengalami berbagai karakter, sejarah, dan memori tubuh dari orang lain yang bisa saja bertolak belakang dengannya. Pertama-tama, ia harus mengadaptasi bagaimana perlakuan si pemilik pakaian, seperti berdamai dengan celana yang sudah bau apek, mengetahui apakah kemeja harus dimasukkan ke dalam celana atau tidak, sampai-sampai mempelajari cara mengikat kain penutup kepala yang berlapis-lapis. Beberapa pakaian membuatnya harus menguji limit tubuhnya, seperti menahan perut, menggoyang-goyangkan pinggul, melenturkan lengan, dan menegangkan pundak. Selain bentuk, ada informasi-informasi yang tertanam bersama si pakaian. Misalnya, Ragil mengaku bukanlah orang yang tertarik dengan olahraga, namun mengenakan setelan futsal lengkap pinjaman temannya membuatnya sedikit mengerti bagaimana keleluasaan bahan pakaian dan keamanan menjadi bagian penting ketika berolahraga. Tatkala meminjam setelan dari seseorang yang bekerja di bidang mode busana, ia menyimpulkan setelan ini memang mementingkan penampilan ketimbang fungsi pakaian itu sendiri, karena sekalipun bercorak warna-warni yang mengundang perhatian, bahannya bersifat keras dan panas ketika dipakai. Pada saat mengenakan beberapa gaun milik perempuan, laki-laki ini tak luput dari perasaan canggung saat melihat refleksinya, apalagi ia merasakan beberapa pakaian ini seperti mencengkeram badannya. Ia pun juga menemukan beberapa pakaian perempuan yang ternyata bisa cocok dengannya. Berbagai setelan pakaian ini menuntut tubuh untuk melakukan gestur-gestur tertentu, yang harus diimbangi ketika bersikap tegap dan tanpa ekspresi pada saat difoto..
Proses menjadi dan memandangi diri yang lain di hadapan cermin itulah yang kemudian diabadikan lewat kamera telepon genggam. Bingkai vertikal dari tiap foto yang merupakan karakter bawaan dari kamera telepon genggam digunakan untuk bisa menghadirkan potret tubuh secara penuh. 154 foto-performans ini menggunakan sinar alami dari matahari sebagai pencahayaan, sebuah elemen untuk menghadirkan ‘kenyataan’ yang terlihat di cermin. Ketika mengamati seri foto-performans dari yang pertama hingga yang paling akhir, satu hal yang mencolok adalah terlihatnya pertumbuhan rambut. Transisi yang juga mengubah tampilan tersebut menunjukkan durasi penggarapan proyek Facing the Others (Meraut dalam yang Lain) selama sepuluh bulan, yakni sejak Maret 2018 hingga Januari 2019. Perubahan-perubahan yang tampak dari tiap foto-performans pun perlu diingat bahwa sesungguhnya mereka adalah citra yang janggal karena terepresentasikan secara terbalik akibat efek cermin. Lewat seri foto-performans ini, kita dihadapkan pada refleksi sosok yang ada dalam cermin, bukan sosok yang sesungguhnya, sebab refleksi itu memanglah sosok sang penampil saat membayangkan “yang lain”.
Mayoritas orang-orang yang meminjamkan setelan pakaian dalam proyek ini berasal dari generasi milenial. Dalam buku Generasi Phi π: Memahami Milenial Pengubah Indonesia (2017), Muhammad Faisal menulis bahwa angka π yang irasional (3.14285714 dst.) ia gunakan dalam menyimbolkan generasi milenial Indonesia karena “kerap dianggap irasional dalam bertindak” oleh generasi sebelumnya. Kesan “irasional” ini berasal dari keinginan generasi yang lahir pada tahun 1989 – 2000 ini untuk mencari keseimbangan antara dua kutub identitas. Seturut pengandaiannya, “… Gen π di Indonesia adalah “late bloomer” atau sedikit telat dalam menentukan identitas diri mereka. Mereka mengalami fase yang lebih panjang dalam mengeksplorasi nilai-nilai, believe, values, dan identitas diri, hingga mencapai usia dewasa menengah.” Pencarian yang panjang ini juga berkaitan dengan banjir informasi yang hadir ke diri mereka setiap hari, termasuk soal fashion. Salah satu cara yang dicatat Faisal adalah, generasi ini lebih mempercayai gaya, brand, jenis pakaian atau tempat membeli pakaian yang diulas dan direkomendasikan oleh teman mereka sendiri. Kesediaan teman-teman dalam lingkaran sosial si seniman untuk meminjamkan bajunya selama kurun penggarapan proyek seni ini menjadi indikasi dari karakter Generasi π atau milenial Indonesia ini, yang menyandang nilai kolektivisme yang tinggi. Pada seri foto-performans ini, ratusan setelan pakaian yang ada menunjukkan negosiasi-negosiasi “irasional” yang kemudian menjadi gaya personal si pemilik asli. Negosiasi ini muncul dari kelindan mobilitas yang dialami tiap-tiap pemilik baju, yakni antara menjalankan passion dan tuntutan hidup (norma-norma dan pekerjaan). Ada keinginan untuk tampil sesuai syariat namun tetap fashionable, fashionable meski tidak nyaman di badan, punk namun sopan, tradisional namun modern, biasa namun nyentrik, klasik namun kekinian, miskin namun mahal hingga terlihat profesional namun santai. Negosiasi ini pun diakomodir oleh berbagai variasi dari industri daring dan luring yang ada pada jangka waktu proyek ini dikerjakan. Sebutlah kehadiran online shop baju muslim trendi, baju “KW” dari fashion Korea Selatan, T-shirt cinderamata seniman lokal, hingga produk perancang mode busana lokal dari Generasi π itu sendiri. Selain itu, di media sosial terdapat fitur tagar yang memudahkan pencarian referensi untuk bisa dibuat sendiri lewat tukang jahit setempat. Secara luring, kita juga tak luput dari kehadiran retail fast fashion di mal-mal dan kegemaran anak muda sekarang untuk berburu di pasar baju bekas. Proyek Facing the Others / Meraut dalam yang Lain ini menjadi investigasi artistik dalam mempraktikkan “keirasionalan” generasi ini, baik dari segi fashion maupun mobilitas untuk mengenali karakter orang-orang segenerasi di lingkungan sosialnya
Penyelaras Bahasa : Ugeng.T.Moetidjo
Gesyada Siregar (lahir di Medan, Indonesia, 1994, tinggal dan bekerja di Jakarta) menyelesaikan pendidikan sarjana di program studi Seni Murni, Institut Kesenian Jakarta (2016). Ia menaruh minat pada pendukungan seniman muda dan pembacaan ulang terhadap pemikiran-pemikiran seni di Indonesia.
Sejak 2013, ia telah bekerja untuk berbagai pameran, festival, penulisan, program dan proyek seni nasional dan internasional, di antaranya proyek penulisan buku Pusaka Seni Rupa Indonesia dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia (2017), pameran Lukisan Tanpa Teori (Galeri Cipta III, Jakarta, 2017), Condition Report dari Japan Foundation (Jakarta dan Bangkok, 2017), Labour Cultural Exhibition: Siapa itu Buruh? (Gudang Sarinah Ekosistem, Jakarta, 2017), dan Instrumenta: Festival Seni Media Internasional dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia (Galeri Nasional Indonesia, 2018). Ia juga terlibat di ruangrupa sebagai pengurus di Jakarta 32°C, dan program kelas pendek di Gudskul: Studi Kolektif dan Ekosistem Seni Rupa Kontemporer.